Selasa, 14 Mei 2013

Kamu, yang menenangkan

hai guys! postingan kali ini kita sedikit menghayal dan menggalau. happy reading :')


“mau ngapain ke bandara?! Kamu mau berangkat” sms ku lima menit yang lalu, sedikit khawatir dan gelisah karena pesanku tak kunjung dibalas.
“ia” balasan singkat darinya, membuat jantungku semakin tak berirama.
 Apa benar mau berangkat, apa ini maksud perkataanya 2 hari lalu tentang Kalimantan. Secepat itukah? Tanpa pamitkah? Aaaah!!. Pikiranku benar-benar campur adauk tak karuan, sangat gelisah. Aku coba yakinkan kembali pertanyaanku; 10 menit tanpa balasan, aku telpon berulang-ulang pun tidak di jawab. Ah! Air mata mulai mengalir di pipiku.
“syg, maaf yh baru dibls, td cm nganterin kk dan keluarganya, aku gk kmanamna, maaf jg td becanda :p” akhirnya balasan darinya mengisi inboxku, tidak tunggu lama aku segera menelponya. Percakapan kita di telepon berlangsung singkat, yah tidak seperti biasanya yang menghabiskan waktu berjam-jam, yang membuat kami bergantian melakukan panggilan; 10 menit. Sebenarnya sengaja aku akhiri teleponnya karena jantungku yang berdegup terlalu cepat, dan semakin tak berirama ketika dia mulai menyinggung rencana liburanku.

Yah, aku memang berencana mengunjungi Makassar, Surabaya, jogja dan Cirebon tempat kelahiranku, seorang diri dan untuk pertama kalinya tanpa orang tua atau keluarga, dan inilah yang akan menimbulkan pertengkaran antara aku dan dia. Dia yang 4 tahun lebih tua dariku dan kadang lebih terkesan sebagai kakak bagiku benar-benar khawatir dengan rencanaku, dan terus meyakinkan untuk tetap tinggal, sejuta kekhawatiran dia katakan bahkan sampai yang tidak mungkin terjadi. Begitulah dia, paranoid.

Tapi setelah kejadian tadi dan kata-katanya ditelpon membuatku berfikir ulang dengan rencanaku. Kejadain tadi benar-benar membuatku merasakan khawtir yang luar biasa. Tapi aku mencoba menepisnya. Ini pasti terjadi hanya karena mendadak, dan tanpa pemberitahuan dulu, kalau aku kan sudah 1 bulan yang lalu, seharusnya dia lebih siap dan mengerti toh hanya 3 minggu. Dan beginilah aku, egois.

Sudah dua hari berlalu, tapi aku masih dibuat tak tenang dengan kata-katanya. seperti ingin membatalkan keberangkatanku, tapi tidak mungkin karena tiket sudah ku pesan dan di bayarakan, papa bisa marah besar kalau tau aku ingin membatalkannya. Tapi sungguh benar-benar ada yang mengganjal hati dan pikiranku. Aku coba ceritakan hal ini pada sahabatku, “mungkin kamu ikutan parno gara-gara dia, bawa santai saja, Cuma sebentar kan?” katanya mencoba tenangkan hatiku. Tapi hati ini masih tidak tenang, sesak seakan berdiri berhimpit ditengah-tengah 8 orang obesitas di dalam lift.
Akhirnya aku putuskan untuk mengatakan padanya. Malam itu aku mampir ke rumahnya, sehari seelum jadal tiket liburanku. Kami duduk di sofa yang ada di teras samping rumahnya. Dia merapatkan jarak duduknya denganku dan menggegam tanganku. Aku pun menyandarkan kepalaku di bahunya dan mulai bercerita. Yah, inilah salah satu bagian favoritku darinya, ketika aku bercerita padanya tentang semua yang mengganjal pikiranku, kedewasaannya. Ia tidak hanya terasa sebagai seorang pacar bagiku, tapi juga sebagai kakak laki-lakiku. 

Percakapan kami terhenti, aku melirik jam tangan di tangan kiriku. “jangan diliat, aku masih kangen. Kalau perlu kamu bermalam di rumah, nanti aku yang bicara sama papa mamamu” ucapnya malam itu sambil tersenyum tipis. Bagian favoritku yang lain darinya; senyumnya.
Tapi waktu seakan tak pernah berpihak pada kami, tidak di hari biasa dimana aku yang terlalu disibukan dengan tuntutan les dari orang tuaku dan dia dengan tugas kuliah, futsal, dan organisasinya. Tidak juga untuk malam ini,  malam sebelum keberangkatanku besok pagi. Sudah setengah 10 dan aku harus segera pulang, yah sebelum telpon dari kakaku yang terlalu protektif padaku dan sedikit kurang bersahabat dengan pacarku tersambung ke handphoneku. Andai kami bisa lebih lama lagi berdua untuk malam ini.
Setelah pamit pada kakaknya yang asik meonton sinetron di tv, dia menawari untuk mengantar sampai rumah tapi aku menolak. Kami berjalan menuju pagar rumahnya, tempat motorku di parkirkan. Tangannya merangkul pinggangku, langkah kami terhenti sejenak tepat di depan pintu pagar rumahnya, aku melirik wajahnya, air mukanya terlihat tak rela. Lalu kecupan itu mendarat tepat di pipi dan keningku, lebih lama dari biasanya. Untuk bekal sampai pertemuan berikut katanya.
Jaga diri jaga hati
Ingat aku yang akan selalu pulang untukmu,
untuk cinta kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar