Minggu, 14 November 2010

Sejenis copy-paste

Kegagalan dan Kesuksesan Adalah Konsekuensi Pikiran
Banyaknya harta yang kita miliki tidak pernah membuat kita merasa
cukup menjadi "kaya" dalam arti yang sesungguhnya. Mari kita luruskan
pengertian kita mengenai orang "kaya". Orang yang "kaya" bukanlah
orang yang memiliki harta benda banyak, tetapi orang yang dapat
menikmati apa pun yang dimiliki tanpa merasa terikat pada kepemilikan
barang-barang itu!

orang itu sadar sepenuhnya bahwa dia datang ke dunia hanya dibekali
satu nyawa (jiwa). Nah, dia harus merasa memiliki nyawa itu, dan
harus merawat serta bertanggung jawab dalam kehidupannya. Dengan
nyawa itu pulalah, seseorang harus hidup bahagia, di mana pun dia
berada, dan dalam kondisi apa pun.

Kunci kebahagiaan adalah bersyukur! Mensyukuri apa yang kita dapat
itu penting. Termasuk hanya punya satu nyawa untuk bisa hidup di alam
ini. Kebahagiaan itu bisa dibuat dengan tidak meminta apa pun kepada
orang lain, tetapi berikan apa yang bisa diberikan kepada orang lain
agar bahagia.

Betapa sering kita memfokuskan diri pada apa yang kita inginkan
sehingga membuat kita menjalani hidup dengan segala rasa kurang puas.
Kita tidak pernah memfokuskan diri pada apa yang kita miliki dan
memberdayakan seoptimal mungkin apa yang ada dan apa terjadi pada
kita. Jika kita tetap berfokus pada keinginan, hidup pun terasa
menjadi sengsara karena selalu merasa kurang puas dengan apa yang
sudah dimiliki atau yang terjadi.

Kita dapat mengubah perasaan itu dengan berfokus pada apa yang sudah
kita miliki. Cobalah lihat keadaan di sekeliling, pikirkan yang
dimiliki, dan syukurilah. Karena itu, Anda akan merasakan nikmatnya
hidup ini dengan segala yang terjadi pada diri kita. Siap untuk
menjalani segala peran yang disediakan alam untuk kita. Peran kocak
membuat kita tertawa. Peran sedih membuat kita menangis. Peran
bercinta membuat kita mabuk kepayang. Itulah dunia, tempat berperan
untuk melakoni lokakarya kehidupan. Dan tugas kita harus bisa
berjuang dengan peran yang sedang kita perankan sebaik-baiknya.
Tentunya boleh-boleh saja kita memiliki keinginan, tetapi kita perlu
menyadari bahwa itulah akar perasaan tidak tenteram. Sang Buddha
selalu mengingatkan hal itu dalam surat demikian: "Kesengsaraan yang
sesungguhnya adalah hal yang melekat pada harta duniawi."

Katakanlah kita sudah memiliki rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, dan
pasangan yang baik. Tetapi, Anda masih merasa kurang. Pikiran Anda
dipenuhi berbagai target dan keinginan. Anda begitu terobsesi oleh
rumah yang besar dan indah, mobil mewah, serta pekerjaan yang
mendatangkan lebih banyak uang. Kita ingin ini dan itu. Bila tidak
mendapatkannya, kita terus memikirkannya. Anehnya, walaupun sudah
mendapatkannya, kita hanya menikmati kesenangan sesaat. Kita tetap
tidak puas, dan kita ingin yang lebih lagi dan lagi.

Dengan melihat apa yang menjadi problem kita, hendaknya itu cepat
diselesaikan, jika dibiarkan terlalu lama, berlarut-larut, membuat
kita jadi frustrasi, dan akhirnya depresi. Segera buat keputusan, dan
jangan menjadi orang yang terlalu "ideal". Itu memang penyakit kita,
apa yang ada di pikiran dan menjadi prinsip di batin harus
dijalankan, dan kalau ada penentang atau hambatan kita hajar atau
kabur. Itulah masalah yang kita timbulkan sendiri.

Nah, sekarang kita harus sedikit pakai stategi "lentur sedikit" pakai
ilmu bambu, batang bambu walaupun tinggi, ditiup angin sampai
ujungnya mencapai tanah pun bambu itu, tidak patah, bahkan bisa
melambai naik kembali. Batang bambu mampu mengikuti terpaan angin
badai sekalipun. begitu juga kita, harus mampu mengikuti arus
kehidupan tanpa menghakimi, nikmati saja seperti air mengalir, tidak
lurus kaku, jika ada yg menghambat bisa membelok atau mencari jalan
lain, tetapi tidak berhenti. Karena itu, air yang terhenti akan
mengendap jadi kubangan lama-lama dipenuhi cacing dan jadi dangkal.

Mengalir ibarat air itu penting. Hal tersebut dijabarkan dengan
bekerja sebagaimana porsi dan posisi yang kita dapat dalam hidup ini.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa manusia sesungguhnya makhluk
pemalas. Mereka mengharapkan ada kekuatan suci tertentu yang dapat
menghapus dosa-dosanya, sekaligus membawa mereka ke tempat yang suci
yang nyaman. Apakah itu benar dan masuk akal? Dalam agama apa pun
kita ditegaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menunjuk para orang
terpilih, orang-orang suci, para nabi untuk menunjukkan jalan yang
benar kepada umat manusia. Tetapi, manusia itu sendirilah yang harus
berusaha. Nabi-nabi hanya memberi jalan dan arah menuju kebenaran,
sedangkan keputusan ada di manusia itu sendiri yang memutuskan untuk
jadi orang baik atau orang jahat.

Orang bijak sadar bahwa keberhasilan atau kegagalan hidupnya adalah
konsekuensi perbuatan dan hasil pikiran-pikiran yang terbentuk.
Manusia harus selalu mengintrospeksi diri, apakah pikiran dan
perbuatan sesuai dengan hukum alam dan kehendak Yang Mahakuasa?
Karena pahala dan dosa tidak bisa diwakilkan, dan harus ditanggung
sendiri.

Apakah bisa kita mungkiri bahwa hidup di dunia adalah medan
perjuangan yang bergelimang penderitaan? Sebagian orang masih
menyangkal karena mereka hidup dalam kondisi serbabaik dan
menyenangkan. Karena itu kita melihat dengan mata hati, dunia ini
sebagai surga atau sebagai neraka penderitaan. Hanya diri sendiri
yang bisa menjawab karena mengalaminya.

Pertanyaan yang menggoda yang muncul sebagai berikut. "Adakah dari
kita yang suatu saat bisa menghindarkan diri dari ketuaan, penyakit,
dan kematian?" Tentu saja jawabannya tidak. Karena itu, jalani hidup
dengan bersyukur dengan menghargai pemberian Tuhan, yaitu nyawa
(jiwa) yang bersemayam di dalam tubuh kita.

From : hanNi