Minggu, 05 Mei 2013

Bersyukur

Sesuai judul postingan saya kali ini.

"Bersyukur"

Pasti kalian semua langsung mikir "Kenapa seorang Ade tiba-tiba ngepost soal ini, kerasukan kali ya"

Bisa dibilang saya memang kerasukan. Kerasukan "sesuatu" setelah 2 kali mengunjungi tempat anak-anak yang luar biasa meski dengan keterbatasan fisik mereka.

Tempat Ke-1 
Tempat ini diperuntukkan bagi anak-anak cacat ganda yang dibuang oleh orang tuanya dan ditemukan polisi. Tempat ini didirikan oleh seorang Ibu Guru yang benar-benar mulia. Kenapa saya bilang mulia, karena dia membangun tempat ini dengan usaha dan dananya sendiri. Dia juga tidak gentar meski dicerca orang, bahkan diusir karena takut lingkungan mereka tinggal tercemar oleh keberadaan anak-anak tersebut. Ibu itu membangun tempat itu dengan memaksimalkan segala yang Ia punya. Dengan niat tulus, bangunan dan fasilitas yang awalnya sangat kurang layak bertahap mulai membaik karena uluran dari para dermawan.
Ketika saya dan beberapa teman saya mengunjungi tempat ini, fasilitas terlihat sudah mulai memadai, meski masih kurang. Saya memasuki sebuah ruangan dan melihat mereka. Saya tertegun, diam, dan menguatkan diri agar tidak mengeluarkan air mata menyaksikan pemandangan tersebut. Anak-anak yang sayapun sulit membedakan gender mereka karena rambut mereka yang dipangkas nyaris botak dan mengenakan pakaian kurang layak tanpa terucap kata jelas menyambut kedatangan kami. Beberapa dari mereka masih bisa mendekat dan menyapa dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Saya duduk mendekati kumpulan mereka yang bisa diajak bercerita. Dengan wajah yang selalu memancarkan kebahagiaan mereka menceritakan diri mereka, keluarga, sekolah, dan tempat mereka tinggal saat ini. Mereka juga memperkenalkan saudara seatap mereka yang terbaring diatas box kasur. 
Ada yang lumpuh, tuna rungu, tuna wicara, polio, keterbelakangan mental, dan berbagai macam penyakit lainnya. Ada pula seorang bayi yang terkena hydrocephalus dan balita yang memiliki usus tidak normal.
Sehabis bercerita dengan mereka, saya mengitari ruangan tersebut dan menyapa mereka yang terbaring satu per satu. Mereka  yang bisa mendengar serta mengerti meski tak bisa membalas setidaknya akan memberikan isyarat, seperti menggerakkan tangan, memberikan senyum kecil, atau sedikit bergerak yang secara tersirat berkata bahwa mereka baik-baik saja dan senang dengan kunjungan kami.
Saya berhenti di suatu box karena melihat seorang anak meronta seperti meminta sesuatu, namun saya tidak mengerti. Tiba-tiba seorang anak lain yang sepertinya memiliki keterbelakangan mental mendatanginya dengan membawa gelas berisi sedikit air putih dan sendok. Ia lompat ke atas box si-anak yang meronta tadi dan menyuapinya dengan air. Sekejap saja, rontaan anak tadi berhenti. Saya tertegun melihat itu semua. Tetes demi tetes pun keluar dari mata saya, namun saya sembunyikan. Saya tidak mau terlihat sedih dihadapan mereka. Sayapun sempat menyuapi seorang anak yang hanya bisa melakukan sedikit gerakan di dalam box. Dengan lahapnya Ia menghabiskan apa yang saya berikan. Sembari  mengunyah Ia tersenyum meski tanpa kata. Sayapun menyunggingkan senyum bahagia saya membalasnya. Terlihat kenyamanan pada raut wajahnya, membuat saya merasa berguna ada di tempat itu.
Saya keluar dari ruangan itu dan duduk di tempat tamu. Saya melihat beberapa anak yang masih bisa bergerak bebas meski dengan kekurangan lainnya bermain melempar bola bersama. Setelah itu seorang anak tuna wicara berusaha menyanyi mengeluarkan nada-nada meski tanpa kata yang sempurna. Hari itu benar-benar tidak terasa berjalan begitu cepat. Saya dan teman-teman pun harus pulang. Saya benar-benar berat meninggalkan itu semua. Sebelum naik kendaraan, saya lagi-lagi tertegun ketika melihat salah satu diantara mereka membawa masuk tempat sampah kosong yang tadinya penuh dengan berbagai macam sampah para penghuni rumah.

Tempat Ke-2
Saya ke tempat ini dengan teman-teman panitia Year Book angkatan saya. Tempat ini jauh lebih baik dari tempat sebelumnya. Keadaan penghuninya juga lebih baik, dengan pakaian yang lumayan dan penampilan yang sesuai gender meski tetap dengan berbagai keterbatasan yang mereka miliki. Mereka berusaha menunjukkan kalau mereka bisa. Mereka bernyanyi, dan ada juga yang membaca puisi. Di tempat ini hampir semua anak bisa di ajak bercerita. 
Sayapun ngobrol dengan beberapa anak dan menanyakan cita-cita mereka. 
Ada yang ingin jadi dokter gigi, dokter, ulama, bahkan ibu yang baik.
Sayapun memberikan nasihat ringan untuk mereka agar mereka termotivasi.
Saat Magrib tiba, saya berwudhu untuk solat berjamaah. Setelah wudhu, saya tertegun melihat "mereka" sudah duduk berjajar rapi menunggu kami lengkap dengan mengenakan mukenah bagi wanita, dan kopiah serta sarung bagi yang pria. Saya segera duduk mengambil tempat untuk sholat sembari melirik adik-adik yang terlihat sempurna tanpa kekurangan saat mengenakan atribut sholat. Tiba-tiba seorang teman datang dan duduk di samping saya. Ia bercerita tentang adik laki-laki yang duduk di depan saya. Adik itu bilang "Aku pengen jadi guru ngaji kalau udah besar. Tapi aku bisa gak ya? Aku kan cacat". Sayapun langsung tertunduk, merenungi setiap kata yang diucapkan adik tadi dan langsung saja air mata saya menetes. Lagi-lagi saya seperti disadarkan oleh "sesuatu".
Hal sekecil apapun yang kami lakukan di tempat itu terasa membawa kebahagiaan besar buat penghuninya. Kamipun terpaksa harus pulang karena hari sudah larut. Dengan lambaian perpisahan dan kiss bye, sayapun meninggalkan tempat itu.


"Dia yang tidak sempurna mental dan fisiknya saja berusaha mengerti, membantu, dan mengasihi sesamanya yang lebih kurang beruntung dibandingkan dia. Lalu kenapa saya yang hidupnya lebih beruntung dari dia masih berpikir beribu kali untuk seperti itu?"

"Senyum dan raut bahagia bukanlah sesuatu yang sulit untuk diperlihatkan. Dalam kondisi sesulit apapun seharusnya yang kamu berikan untuk orang lain adalah senyum, karena bahagia dan kenyamanan orang lain sesungguhnya di mulai dari senyuman yang Ia dapat"

"Setiap manusia terlahir dengan diberikan bakat yang berbeda-beda. Tugas manusia adalah untuk menggali dan mengolah dengan baik bakat yang dimiliki. Kamu salah saat kamu merasa kamu tidak berbakat, karena sesungguhnya kamu yang belum memaksimalkan pencarianmu"

"Rasa tenteram dan nyaman yang sebenarnya adalah ketika rasa itu bukan hanya untuk kamu tetapi juga untuk orang disekitarmu"

"Melaksanakan tanggung jawab sama halnya dengan meningkatkan kualitas diri. Tidak harus sempurna, cukup melaksanakan tanggung jawabmu dengan ikhlas dan sekitarmu akan memberikan penghargaan dengan sendirinya"

"Bahagia adalah ketika kamu bisa membagikan kebahagiaanmu dengan orang lain yang harus berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan di balik kekurangannya"

"Ketidaksempurnaan fisik seseorang tidak ada artinya di mata Tuhan ketika umat-Nya berdoa dan memohon ampun. Hanya iman yang menjadi pembeda kesempurnaan"

"Cita-cita yang sebenarnya mulia adalah cita-cita untuk menjadi orang yang berguna dengan usaha yang maksimal meski dalam keterbatasan"

Dalam sujud saat sholat jamaah bersama "mereka", saya merasa "mereka" jauh lebih sempurna dibandingkan saya. Mereka mungkin terlihat cacat di mata sesamanya. Tapi saya mungkin masih cacat di mata Pencipta karena iman saya yang benar-benar tidak sebanding dengan apa yang saya dapatkan dari-Nya. 

"Sesuatu" yang merasuki saya adalah sejenis pengingat untuk selalu bersyukur. Bersyukur bukan hanya ketika mendapatkan apa yang saya inginkan, namun juga bersyukur saat saya tidak mendapatkan yang saya inginkan. Karena pasti ada "kelebihan" di setiap pemberian-Nya. Dan ketika saya merasa tidak mendapatkan apapun, saya tetap harus mensyukuri itu karena masih banyak orang di luar sana yang lebih kurang beruntung dibanding saya. Karena apapun yang disyukuri dengan ikhlas akan membuatmu yakin kalau Tuhan-mu selalu memberikan yang terbaik untukmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar