Minggu, 16 Juni 2013

Hujan dan Tentangnya


Awan masih sangat gelap, seminggu ini Merauke tak lepas dari guyuran nikmat sang Pencipta. Mungkin matahari memang sengaja tak dimunculkan ke langit Merauke satu minggu ini. Ini menjadi kenikmatan tersendiri bagi saya, untuk pribadi yang entah mengapa menggilai hujan dan menikmati tiap dentuman dahsyat awan saat sebelum atau selama hujan.

Hujan memang tetaplah hujan, peristiwa turunnya titik air dari awan yang telah berat mengangkat dan menampung uap air yang entah dimulai dari sudut daerah yang mana. Hujan tetap hujan selama masih air yang turun dari langit, dan belum terganti oleh hal lain. Hujan monyet misalnya.
Tapi ada yang lain saat setiap kali hujan turun. Mungkin ini hanya saya yang merasakannya, atau mungkin juga dirasakan orang lain di sekitar saya, yang masih tak pernah bercerita apapun saat hujan turun, selain eluhan takut karena bunyi Guntur yang membahana di langit. Ada perasaan yang menohok hati, begitu menusuk, mengorek luka lama, dan bahkan membawa fantasi baru yang ujungnya tetap pada sakit hati untuk saya.

Hujan memang selalu mempunyai cerita, hujan juga selalu membawa kenangan, dan hujan selalu menang telak untuk mengingatkan saya pada masa lalu, entah apapun itu kejadiaannya. Tapi curangnya, hujan lebih sering mengingatkan saya pada masa lalu yang bernuansa cinta, mungkin karena hujan memang membawa aroma romantis dibalik dinginnya udara yang ia sebabkan, dibalik suara rintikan air yang jatuh menyentuh tanah.

Sialnya hujan senja ini kembali mencurangi kenangan lainnya, hujan kali ini begitu telak menendang saya jatuh kedalam kenangan dan perasaan bersama mantan pengisi hati. Mungkin ini akibat terlalu lama menikmati status jomblo, atau  memang saya yang merindukannya, bukan raganya tapi kenangan dan perlakuan manisnya. Saya merindukan pelukan hangat darinya, genggaman erat tangannya, dan aroma tubuhnya. Tapi dalam hati, sejujurnya saya mengutuk kenangan perasaan ini.

Tak peduli dikutuk berapa kalipun, pasti ada saja suasana hujan yang membawa kembali perasaan itu. Mungkin ini sial atau salah saat menciptakan kenangan dulu, yang lebih sering kami berdua lakukan saat hari hujan.

Saya masih duduk di ranjang kamar saya, di sudut jendela kamar, dengan posisi duduk yang memungkinkan saya untuk menatap keluar jendela. Saya memeluk lutut sendiri dan mendaratkan dagu di atas lutut, seperti orang yang pasrah dan hanya meratapi nasib, begitu kira-kira tampang saya senja ini. Mata ini masih liar menjelajahi pemandangan di luar jendela, menikmati indahnya saat air mendarat di tanah, dan derasnya air yang berlomba turun ke bumi.

Dibalik tatapan liar mata, otak ini seakan diputar balikkan. Bentuk tubuhnya muncul, postur tubuh dengan tinggi sekitar 178 cm, rambut hitam yang agak ikal dan sedikit gondrong, hidung mancung, lekukan senyum dari bibirnya seakan nampak jelas muncul di hadapan saya. Ada perasaan senang karena masih bisa dengan jelas mengingat sesuatu tentangnya tapi ada perasaan yang tak kalah besarnya bersaing dengan perasaan senang. Perasaan yang menusuk hati begitu dalam, seperti menghujam dengan pisau berulang-ulang, hati yang terluka begitu dalam karena perlakuannya atau mungkin karena kebodohan sendiri.

Dan dari sekian kenangan manis yang selalu muncul, senja ini membawa kenangan tentang kepahitan yang berulang kali ia lakukan. Sebenarnya saya sadar dan tahu betul dengan apa yang ia lakukan, bahkan dia pun sering mengaku bahwa perbuatannya itu salah. Ya, dia mempermainkan beberapa wanita di hadapan saya, dengan jelas dan jalan cerita yang akan selalu sama dan berulang. Berulang kali juga Ia datang dan pergi pada saya, hanya singgah dan pergi lagi tepatnya. Saya tidak pernah menerimanya kembali, tidak dan tidak akan pernah, sudah terlalu hafal dan benar-benar paham dengan kelakuan bejatnya, kelakuannya yang selalu mempermainkan hati wanita seenaknya dan sesuka hatinya.

Sebenarnya sudah lama kami tidak berkomunikasi, yah setidaknya ini yang paling lama semenjak kata ‘putus’ memisahkan. Mungkin banyak pasangan setelah kata putus, mereka hilang kontak atau menjadi musuh, entahlah pengalaman saya masih sangat minim tentang cinta. Tapi bagi kami berdua tidak. Kata sayang dan cinta msih sering terucap dari mulut kami berdua, bahkan waktu untuk bersama semakin intens dibanding sebelum kata ‘putus’. Mungkin ini usaha untuk memperbaiki, merapikan kembali kepercayaan saya, menutup luka tusukan yang Ia ciptakan sendiri. Tapi itu percuma, itupun sudah lama, yah berbulan-bulan lalu, saat-saat terakhir kebersamaan sebagai mantan kekasih yang begitu dekat. Kedekatan yang mungkin menumbuhkan api cemburu pada mata wanitanya.

Ada yang masih belum terlalu berpihak padaku, mungkin seperti itu. Beberapa bulan terakhir yang benar-benar tanpanya, saya sudah terbiasa dan sangat terbiasa. Tapi entah mengapa atau mungkin ada yang salah dengan mereka, mereka yang selalu ada di samping saya, bersama saya, mendengarkan cerita, mereka serasa ingin membuat saya menjadi tak lupa dengannya. Mereka selalu mengungkit tentang dirinya, entah apa tujuan mereka, menguatkankah? Atau apa? Entah!.

Hujan senja ini, dari sudut jendela kamar. Ada rasa yang sama muncul, ini sejenis rasa sakit, sakit yang tidak dapat ditangkap oleh mata, sakit yang bukan ada diluar tubuh tapi sakit yang hati rasakan karena seberkas ingatan yang kembali terputar tentang kelakuanya.

Ini bukan cemburu, bukan dan sama sekali bukan, dapat saya pastikan itu!. Ini lebih pada persaan sesama wanita, perasaan mengerti, perasaan kasihan dan benci pada dirinya yang lagi dan lagi mengakibatkan luka dengan cara yang sama, cara yang berulang kali ia lakukan pada beberapa wanita dan ditunjukkan kepada saya.

Kamu, iya kamu masih belum berubah! Iya kamu belum berubah! Masih sama, sama seperti setiap hujan yang datang, datang dan mencurangi kenangan.
Farantiaz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar