Awan
masih sangat gelap, seminggu ini Merauke tak lepas dari guyuran nikmat sang
Pencipta. Mungkin matahari memang sengaja tak dimunculkan ke langit Merauke
satu minggu ini. Ini menjadi kenikmatan tersendiri bagi saya, untuk pribadi
yang entah mengapa menggilai hujan dan menikmati tiap dentuman dahsyat awan
saat sebelum atau selama hujan.
Hujan
memang tetaplah hujan, peristiwa turunnya titik air dari awan yang telah berat
mengangkat dan menampung uap air yang entah dimulai dari sudut daerah yang
mana. Hujan tetap hujan selama masih air yang turun dari langit, dan belum
terganti oleh hal lain. Hujan monyet misalnya.
Tapi
ada yang lain saat setiap kali hujan turun. Mungkin ini hanya saya yang
merasakannya, atau mungkin juga dirasakan orang lain di sekitar saya, yang
masih tak pernah bercerita apapun saat hujan turun, selain eluhan takut karena
bunyi Guntur yang membahana di langit. Ada perasaan yang menohok hati, begitu
menusuk, mengorek luka lama, dan bahkan membawa fantasi baru yang ujungnya
tetap pada sakit hati untuk saya.
Hujan
memang selalu mempunyai cerita, hujan juga selalu membawa kenangan, dan hujan
selalu menang telak untuk mengingatkan saya pada masa lalu, entah apapun itu
kejadiaannya. Tapi curangnya, hujan lebih sering mengingatkan saya pada masa
lalu yang bernuansa cinta, mungkin karena hujan memang membawa aroma romantis
dibalik dinginnya udara yang ia sebabkan, dibalik suara rintikan air yang jatuh
menyentuh tanah.
Sialnya
hujan senja ini kembali mencurangi kenangan lainnya, hujan kali ini begitu
telak menendang saya jatuh kedalam kenangan dan perasaan bersama mantan pengisi
hati. Mungkin ini akibat terlalu lama menikmati status jomblo, atau memang saya yang merindukannya, bukan raganya
tapi kenangan dan perlakuan manisnya. Saya merindukan pelukan hangat darinya,
genggaman erat tangannya, dan aroma tubuhnya. Tapi dalam hati, sejujurnya saya
mengutuk kenangan perasaan ini.
Tak
peduli dikutuk berapa kalipun, pasti ada saja suasana hujan yang membawa
kembali perasaan itu. Mungkin ini sial atau salah saat menciptakan kenangan
dulu, yang lebih sering kami berdua lakukan saat hari hujan.
Saya
masih duduk di ranjang kamar saya, di sudut jendela kamar, dengan posisi duduk
yang memungkinkan saya untuk menatap keluar jendela. Saya memeluk lutut sendiri
dan mendaratkan dagu di atas lutut, seperti orang yang pasrah dan hanya
meratapi nasib, begitu kira-kira tampang saya senja ini. Mata ini masih liar
menjelajahi pemandangan di luar jendela, menikmati indahnya saat air mendarat
di tanah, dan derasnya air yang berlomba turun ke bumi.
Dibalik
tatapan liar mata, otak ini seakan diputar balikkan. Bentuk tubuhnya muncul,
postur tubuh dengan tinggi sekitar 178 cm, rambut hitam yang agak ikal dan
sedikit gondrong, hidung mancung, lekukan senyum dari bibirnya seakan nampak
jelas muncul di hadapan saya. Ada perasaan senang karena masih bisa dengan
jelas mengingat sesuatu tentangnya tapi ada perasaan yang tak kalah besarnya
bersaing dengan perasaan senang. Perasaan yang menusuk hati begitu dalam, seperti
menghujam dengan pisau berulang-ulang, hati yang terluka begitu dalam karena
perlakuannya atau mungkin karena kebodohan sendiri.
Dan
dari sekian kenangan manis yang selalu muncul, senja ini membawa kenangan tentang
kepahitan yang berulang kali ia lakukan. Sebenarnya saya sadar dan tahu betul
dengan apa yang ia lakukan, bahkan dia pun sering mengaku bahwa perbuatannya
itu salah. Ya, dia mempermainkan beberapa wanita di hadapan saya, dengan jelas
dan jalan cerita yang akan selalu sama dan berulang. Berulang kali juga Ia
datang dan pergi pada saya, hanya singgah dan pergi lagi tepatnya. Saya tidak
pernah menerimanya kembali, tidak dan tidak akan pernah, sudah terlalu hafal
dan benar-benar paham dengan kelakuan bejatnya, kelakuannya yang selalu
mempermainkan hati wanita seenaknya dan sesuka hatinya.
Sebenarnya
sudah lama kami tidak berkomunikasi, yah setidaknya ini yang paling lama
semenjak kata ‘putus’ memisahkan. Mungkin banyak pasangan setelah kata putus,
mereka hilang kontak atau menjadi musuh, entahlah pengalaman saya masih sangat
minim tentang cinta. Tapi bagi kami berdua tidak. Kata sayang dan cinta msih
sering terucap dari mulut kami berdua, bahkan waktu untuk bersama semakin
intens dibanding sebelum kata ‘putus’. Mungkin ini usaha untuk memperbaiki,
merapikan kembali kepercayaan saya, menutup luka tusukan yang Ia ciptakan
sendiri. Tapi itu percuma, itupun sudah lama, yah berbulan-bulan lalu,
saat-saat terakhir kebersamaan sebagai mantan kekasih yang begitu dekat.
Kedekatan yang mungkin menumbuhkan api cemburu pada mata wanitanya.
Ada
yang masih belum terlalu berpihak padaku, mungkin seperti itu. Beberapa bulan
terakhir yang benar-benar tanpanya, saya sudah terbiasa dan sangat terbiasa.
Tapi entah mengapa atau mungkin ada yang salah dengan mereka, mereka yang
selalu ada di samping saya, bersama saya, mendengarkan cerita, mereka serasa
ingin membuat saya menjadi tak lupa dengannya. Mereka selalu mengungkit tentang
dirinya, entah apa tujuan mereka, menguatkankah? Atau apa? Entah!.
Hujan
senja ini, dari sudut jendela kamar. Ada rasa yang sama muncul, ini sejenis
rasa sakit, sakit yang tidak dapat ditangkap oleh mata, sakit yang bukan ada
diluar tubuh tapi sakit yang hati rasakan karena seberkas ingatan yang kembali
terputar tentang kelakuanya.
Ini
bukan cemburu, bukan dan sama sekali bukan, dapat saya pastikan itu!. Ini lebih
pada persaan sesama wanita, perasaan mengerti, perasaan kasihan dan benci pada
dirinya yang lagi dan lagi mengakibatkan luka dengan cara yang sama, cara yang
berulang kali ia lakukan pada beberapa wanita dan ditunjukkan kepada saya.
Kamu,
iya kamu masih belum berubah! Iya kamu belum berubah! Masih sama, sama seperti
setiap hujan yang datang, datang dan mencurangi kenangan.
Farantiaz